Saya tayangkan di bawah ini program aplikasi untuk menghitung water hammer di sebuah waterway (conduit) PLTA. Ada empat program aplikasi, yaitu program untuk menhitung water hammer di sebuah pipa tunggal, di serangkaian conduit yang dihubungkan secara seri, di serangkaian conduit yang bercabang (bifurcation), dan di serangkaian conduit yang disusun seri, kemudian bercabang dua. Setiap program didampingi oleh sebuah file contoh data masukan.
Untuk menjalankan program aplikasi water hammer ini, komputer harus memiliki MCR yang aktif. Untuk menginstall MCR, unduh file MCRInstaller versi 2012b (8.0) dari situs MathWorks. Pilih versi 32-bit atau 64-bit sesuai dengan versi Windows yang ada di komputer. Klik MCRIntaller untuk mengintall MCR pada komputer. Instalasi MCR tidak diperlukan apabila komputer telah memiliki Matlab versi 12. Instalasi MCR tetap diperlukan apabila Matlab di komputer bukan versi 12.
Problematika yang sudah beberapa kali ditemui di jembatan melintang sungai adalah kegagalan struktur bawah jembatan (fondasi, pilar, pangkal/abutment) dalam menopang jembatan. Di beberapa kasus, kegagalan ini berujung keruntuhan jembatan. Ancaman terhadap keamanan struktur bawah jembatan sering kali bersumber dari dinamika sungai, khususnya dinamika dasar sungai di sekitar fondasi dan pilar jembatan. Penurunan atau degradasi dasar sungai dan gerusan lokal di sekitar fondasi-pilar jembatan sering kali menjadi faktor utama kegagalan struktur bawah jembatan. Banjir, khususnya banjir besar, dapat memperbesar degradasi dasar sungai dan gerusan lokal, yang pada gilirannya menambah ancaman terhadap keamanan struktur bawah jembatan.
Contoh keruntuhan jembatan dapat disaksikan di video yang diunggahkan ke YouTube oleh santos78fti. Klik di sini untuk menyaksikan video tersebut. Dalam dokumentasi video tersebut, tampak bahwa keruntuhan jembatan diakibatkan oleh kegagalan fondasi jembatan dalam menghadapi degradasi dasar sungai. Dasar sungai turun sangat cepat, dipicu oleh seepage di bawah groundsill pengaman jembatan. Bagian ini dapat kita saksikan setelah video berputar separuh waktu.
Seksi-seksi di bawah ini memaparkan beberapa contoh problematika jembatan yang berkaitan dengan faktor degradasi dasar sungai dan gerusan lokal di sekitar fondasi/pilar jembatan.
Jembatan Srandakan, Kulonprogo, Yogyakarta
Pilar #25 dan #26 ables pada 20-21 April 2000, jembatan darurat dipasang untuk membuka akses kendaraan ringan melewati jembatan (foto diperoleh dari Tito A Wicaksono, Binar Marga DIY)
Jembatan Srandakan melintas Sungai Progo, menghubungkan Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul dengan Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DI Yogyakarta. Jembatan Srandakan mulai dibangun pada 1925 dan diresmikan pada 1929 sebagai jembatan kereta api (lori) pengangkut tebu. Jembatan mengalami beberapa alih fungsi dan rehabilitasi. Pada 1951, jembatan difungsikan sebagai jembatan jalan raya. Pada 2000, dua dari 58 pilar jembatan turun (amblas) yang terjadi dalam dua hari berurutan. Pilar #25 turun pada 20 April 2000 dan pilar #26 turun pada hari berikutnya. Saat ini, Jembatan Srandakan tidak lagi berfungsi. Sebuah jembatan baru, Jembatan Srandakan II telah menggantikan jembatan lama pada 2007. Baca artikel lengkap…
Jembatan Kebonagung, Sleman, Yogyakarta
Jembatan Kebonagung, Godean, Yogyakarta, 2006
Jembatan Kebonagung melintas Sungai Progo, berlokasi di ruas jalan Kota Yogyakarta-Nanggulan/Godean, di Kecamatan Minggir, Sleman, Yogyakarta. Jembatan bediri di atas 4 pilar silinder beton. Setiap pilar ditopang oleh dua buah fondasi sumuran. Pada awal 2000-an sampai 2006, terjadi degradasi dasar sungai dan gerusan lokal di sekitar sebagian pilar jembatan. Dari pengukuran tahun 2006, dasar sungai di pilar #4 (pilar pertama di sisi Nanggulan atau di sisi barat) telah mendekati dasar fondasi. Degradasi dasar sungai dipicu oleh keruntuhan groundsill di hilir jembatan. Baca artikel lengkap…
Jembatan Trinil, Magelang, Jawa Tengah
Jembatan Trinil tampak dari hilir setelah pilar #3 ambles pada 25 Februari 2009 (foto diperoleh dari Ery Agung Kisworo)
Jembatan Trinil melintas Sungai Progo, menghubungkan Desa Kalijoso, Kecamatan Secang dengan Desa Banjarsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jembatan Trinil berdiri di atas 3 pilar dan fondasi pasangan batu kali. Panjang bentang jembatan lebih kurang 70 m. Pada 25 Februari 2009, pilar #3 (paling barat) turun (ambles) yang memutus lalul lintas melewati jembatan. Belum sempat jembatan diperbaiki, setahun kemudian pada 4 Maret 2010, terjadi banjir yang menyebabkan pilar #1 dan #2 miring dan turun. Baca artikel lengkap…
Jembatan Pabelan, Magelang, Jawa Tengah
Tampak bawah Jembatan Pabelan pasca banjir lahar hujan 30 Maret 2011
Jembatan Pabelan melintas Sungai Progo di jalan raya Yogyakarta-Magelang. Di lokasi ini terdapat 2 jembatan, yaitu jembatan lama yang ditopang oleh pilar dan fondasi pasangan batu kali, serta jembatan baru yang ditopang oleh pilar beton. Pada Maret 2011, salah satu bentang jembatan lama hilang diterjang banjir lahar hujan (sebagian orang menyebut banjir lahar dingin). Baca artikel lengkap…
Jembatan KA BH 474 Comal, Pemalang, Jawa Tengah
Jembatan kereta api di Comal, Jawa Tengah, 2001 (foto diperoleh dari PT Kereta Api (Persero))
Jembatan ini merupakan jembatan kereta api lintas Pekalongan-Tegal, tepatnya di antara Comal-Petarukan, dikenal pula dengan nama Jembatan BH 474. Jembatan ini melintas Sungai Comal. Bentang jembatan 60+60+12 m, ditopang oleh sebuah pilar pasangan batu kali di atas fondasi sumuran dan sebuah pilar beton di atas fondasi tiang pancang. Jembatan dibangun pada akhir abad ke-19. Pada Juni 2001, pilar pasangan batu kali miring akibat fondasi di bawahnya ambles sedalam 188 cm. Baca artikel lengkap…
Jembatan Srandakan melintas Sungai Progo, menghubungkan Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul dengan Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DI Yogyakarta. Jembatan Srandakan berada di jalan jalur lintas selatan, menyambung dengan Jalan Daendels.
Lokasi Jembatan Srandakan, melintasi Sungai Progo di Kecamatan Galur, Kulon Progo (imaji dari Apple’s Maps)
Jembatan Srandakan mulai dibangun pada 1925 dan diresmikan pada 1929 sebagai jembatan kereta api (lori) pengangkut tebu. Panjang jembatan 531 m, terdiri dari 59 bentang @9 m. Struktur bawah berupa pilar ganda yang berdiri di atas 8 buah tiang pancang beton, masing-masing tiang pancang berukuran 20×20 cm-persegi. Kedalaman dasar fondasi tiang pancang tidak diketahui (angka elevasi dasar tiang pancang pada gambar yang diperoleh penulis sulit dibaca; lihat gambar di bawah ini).
Gambar desain teknis Jembatan Srandakan 1925 (gambar diperoleh dari Tito A Wicaksono, Bina Marga DIY)
Jembatan telah mengalami beberapa alih fungsi dan rehabilitasi, antara lain pengalihan fungsi dari jembatan lori menjadi jembatan jalan raya pada 1951, penggantian lantai jembatan dari lantai kayu menjadi lantai beton pada 1962, penggantian gelagar dari baja menjadi komposit (17 bentang) dan beton slab (40 bentang) serta perlebaran dari 3.3 m menjadi 5.5 m pada 1979-1985. Struktur bawah jembatan (pilar dan fondasi) tidak pernah berubah, tetap seperti aslinya.
Jembatan Srandakan pada 1990-an (foto diperoleh dari Tito A Wicaksono, Bina Marga DIY)
Pada 2000, dua dari 58 pilar jembatan turun (ambles) yang terjadi dalam dua hari berurutan. Pilar #25 turun pada 20 April 2000 dan pilar #26 turun pada hari berikutnya. Sebelum peristiwa ini, sebuah truk tronton bermuatan semen melintasi jembatan pada 19 April 2000. Menyusul peristiwa ini, sebuah jembatan darurat tipe bailey dipasang di atas bentang yang turun untuk membuka akses jembatan.
Pilar #25 ambles 1.39 cm pada 20 April 2000 (foto diperoleh dari Tito A Wicaksono, Bina Marga DIY)
Pilar #25 dan #26 ables pada 20-21 April 2000, jembatan darurat dipasang untuk membuka akses kendaraan ringan melewati jembatan (foto diperoleh dari Tito A Wicaksono, Binar Marga DIY)
Kegagalan fondasi dan pilar Jembatan Srandakan tidak terjadi secara tiba-tiba. Jembatan ini mulai menampakkan tanda-tanda mengalami permasalahan sejak akhir dasa warsa 80-an dan berlanjut selama era 90-an. Degradasi dasar sungai merupakan sumber pertama timbulnya permasalahan. Pada masa itu, degradasi dasar sungai terjadi hampir di sepanjang alur Sungai Progo. Dengan membandingkan gambar rencana jembatan pada 1925 dan posisi dasar sungai terhadap lantai jembatan pada awal 2000, tampak bahwa dasar sungai turun 3 m. Bukti lain bahwa dasar sungai turun dapat diamati dari menggantungnya Intake Sapon yang berada lebih kurang 2 km ke arah hulu Jembatan Srandakan.
Indikasi degradasi dasar sungai di Jembatan Srandakan pada dasawarsa 1990-an (foto diperoleh dari Tito A Wicaksono, Bina Marga DIY)
Alur utama Sungai Progo, pada musim kemarau, berada di pilar #25-26 Jembatan Srandakan dan tampak adanya indikasi degradasi dasar sungai (foto diperoleh dari Tito A Wicaksono, Bina Marga DIY)
Faktor kedua penyebab kegagalan pilar Jembatan Srandakan adalah gerusan lokal di sekitar fondasi dan pilar jembatan. Gerusan lokal di sekitar fondasi dan pilar jembatan ini tampak jelas. Saat kunjungan saya ke Jembatan Srandakan pada musim kemarau 2002, saya melihat dengan jelas jejak gerusan lokal berupa cekungan dasar sungai di sisi hulu pilar jembatan. Dengan demikian, gerusan lokal pasti juga terjadi pada tahun-tahun sebelum itu, sebelum peristiwa penurunan fondasi/pilar jembatan pada 2000.
Faktor ketiga penyebab kegagalan pilar adalah peningkatan volume kendaraan yang melintas Jembatan Srandakan. Pengukuran pada 1984 menunjukkan LHR 5-ribu, meningkat menjadi 15-ribu pada 1995, dan mencapai 20-ribu pada 2000.
Upaya-upaya perlindungan fondasi dan pilar jembatan telah dilakukan sejak dasa warsa 90-an. Pada awal 90-an, saya pernah menyarankan pembangunan groundsill di sisi hilir jembatan. Pada 1997-1999, dilakukan upaya pengamanan fondasi dan pilar jembatan dengan cara menyelimuti bagian fondasi yang telah menyembul di atas dasar sungai serta membuat lantai (apron) di hilir pilar. Selimut dan lantai hilir dibuat dari konstruksi bronjong. Upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Justru selimut bronjong telah mempersempit alur sungai. Jarak bebas antar pilar mengecil dari 9 m menjadi 7 m di bagian atas selimut bronjong dan bahkan menjadi tinggal 1 m di bagian dasarnya. Penyempitan alur meningkatkan kecepatan aliran yang pada gilirannya memperbesar gerusan lokal di sekitarnya. Gerusan lokal bertambah dalam akibat pembesaran dimensi fondasi/pilar+selimut.
Selimut dan lantai hilir dari konstruksi bronjong sebagai upaya pengamanan pilar jembatan, dikerjakan pada periode 1997-1999 (foto dari Tito A Wicaksono, Binar Marga DIY)
Selimut bronjong di sekeliing pilar/fondasi jembatan rusak karena tidak dapat bertahan terhadap aliran air (foto dari Tito A Wicaksono, Bina Marga DIY)
Pasca penurunan pilar jembatan pada April 2000, telah dilakukan perbaikan lantai hilir dengan rehabilitasi konstruksi bronjong serta penempatan sejumlah blok beton di bagian alur yang paling dalam (thalweg). Perbaikan lantai hilir ini dilaksanakan pada periode 2001-2002.
Lantai hilir telah diperbaiki pasca pilar #25-26 ambles
Sejumlah blok beton ditempatkan di thalweg untuk memperkuat lantai hilir pasca pilar #25-26 ambles
Perlindungan Jembatan Srandakan yang paling signifikan diperoleh setelah pembangunan groundsill yang berada lebih kurang 500 m di hilir jembatan pada 2001-2003. Groundsill berfungsi mempertahankan taraf dasar sungai di taraf mercu groundsill. Groundsill mencegah degradasi dasar sungai. Dalam kasus di Srandakan, groundsill bahkan ditujukan untuk mengembalikan dasar sungai ke posisi semula, yaitu sejajar dengan dasar pilecap jembatan.
Groundsill Srandakan di hilir Jembatan Srandakan yang dibangun pada 2001-2003 telah berhasil “menaikkan” dasar sungai di Jembatan Srandakan sehingga kembali pada elevasi pilecap Jembatan Srandakan I (jembatan lama)
Groundsill Srandakan, dirancang dengan debit Q50 = 2780 m3/s, mercu pada +9.50 m dan MAB +11.70 m
Jembatan Srandakan II
Pada 2005-2007, dibangun Jembatan Srandakan II yang berlokasi di hilir Jembatan Srandakan lama (jembatan lama ini kemudian disebut dengan nama Jembatan Srandakan I). Jembatan baru yang memiliki panjang 626.75 m ini terdiri dari 14 bentang @35 m dan 3 bentang @15 m. Struktur bawah berupa 16 buah pilar bulat yang berdiri di atas fondasi sumuran.
Denah Jembatan Srandakan I, Jembatan Srandakan II, dan Groundsill Srandakan (imaji dari Google Earth)
Jembatan Srandakan II di hilir jembatan lama, dibangun pada 2005-2007
Jembatan Srandakan I Dipertahankan
Jembatan Srandakan I (jembatan lama) tampak dari hilir, 2006
Pada waktu pembangunan Jembatan Srandakan II, jembatan lama (Jembatan Srandakan I) direncanakan untuk dibongkar. Salah satu alasan pembongkaran adalah kekhawatiran terhadap kekuatan struktur Jembatan Srandakan I dan kekhawatiran bahwa jembatan lama ini akan membahayakan jembatan baru atau setidaknya akan menyebabkan pertambahan kedalaman gerusan dasar sungai di pilar jembatan baru.
Kajian yang dilakukan pada 2007 menunjukkan bahwa struktur Jembatan Srandakan I masih mampu untuk menopang jembatan dan beban lalu lintas di atasnya. Beban lalu lintas yang disarankan adalah lalu lintas kendaraan ringan. Kajian secara hidraulis dilakukan melalui simulasi aliran dengan bantuan model aliran dua-dimensi. Dari kecepatan aliran di pilar jembatan, kemudian diperkirakan kedalaman gerusan lokal. Hasil studi menunjukkan bahwa tidak ada risiko pertambahan kedalaman gerusan di pilar jembatan baru yang ditimbulkan oleh pilar jembatan lama.
Model aliran 2D Sungai Progo di ruas Sapon-Srandakan
Pola aliran air di sekitar pilar Jembatan Srandakan I dan Jembatan Srandakan II
Mempertahankan keberadaan Jembatan Srandakan I memiliki keuntungan, yaitu
menghemat biaya karena pembongkaran jembatan ini tentulah membutuhkan biaya yang tidak sedikit;
jembatan masih dapat difungsikan untuk lalu lintas ringan dengan rehabilitasi terhadap bentang yang mengalami penurunan;
atau kalau pun tidak dilakukan rehabilitasi, maka jembatan ini dapat menjadi tempat pembelajaran mengenai problematika jembatan yang ditimbulkan oleh degradasi dasar sungai dan gerusan lokal.
Tayangan yang Berkaitan
Tayangan tentang Jembatan Srandakan yang saya sampaikan dalam kuliah Teknik Sungai. Klik di sini atau klik di sini untuk file yang berukuran lebih kecil.
Jembatan Kebonagung melintas Sungai Progo, berlokasi di ruas jalan lintas Sleman-Kulonprogo. Lokasi jembatan adalah di Desa Nanggulan, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Jembatan dapat dicapai dari Ring-road Barat Yogyakarta, melalui Jalan Godean.
Lokasi Jembatan Kebonagung, melintasi Sungai Progo di Godean, Sleman (imaji Apple’s Maps)
Jembatan bediri di atas 4 pilar silinder beton. Setiap pilar ditopang oleh dua buah fondasi sumuran. Kedalaman fondasi adalah 8 meter, dasar fondasi berada 9.5 meter di bawah mercu pilecap. Sebuah groundsill ditempatkan di hilir jembatan untuk menstabilkan dasar sungai dengan cara mencegah degradasi dasar sungai dan mempertahankan posisi dasar sungai sejajar dengan mercu groundsill.
Permasalahan di Jembatan Kebonagung berawal pada 1997 saat groundsill mengalami kerusakan, jebol sepanjang 2 meter di sisi kiri. Setelah perbaikan, kerusakan lain yang lebih parah terjadi, yaitu separuh bentang di sisi kanan runtuh. Hal ini menyebabkan aliran air berbelok dan berkonsentrasi di bagian yang runtuh sehingga memicu degradasi dasar sungai di bagian ini. Upaya penanganan telah dilakukan dengan penempatan blok beton di bagian groundsill yang runtuh, namun upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Sebagian blok beton hanyut karena tidak mampu menahan gaya dinamik aliran air.
Denah Jembatan Kebonagung dan Groundsill Kebonagung (ditumpang-susunkan dengan imaji Apple’s Maps)
Kerusakan Groundsill Kebonagung (foto 2006)
Sisi kanan Groundsill Kebonagung yang telah patah (foto 2006)
Sketsa tampang memanjang Sungai Progo di Jembatan dan Groundsill Kebonagung
Blok beton yang dipakai untuk menutup bagian groundsill yang patah, namun tidak sepenuhnya berhasil (foto 2006)
Kerusakan groundsill disebabkan ketidak-mampuan groundsill menahan gaya hidrodinamik aliran air. Selain struktur tubuh groundsill yang tampaknya hanya berupa pasangan batu kali, ketiadaan lantai hilir merupakan telah menyebabkan groundsill tidak memiliki pelindung terhadap gerusan dasar sungai di hilirnya.
Bagian groundsill yang masih tersisa pada 2006
Selain degradasi dasar sungai, terjadi pula gerusan lokal di sekitar pilar/fondasi jembatan. Pada 2006, tampak jejak gerusan lokal berupa lubang gerusan di sekitar pilar #2 dan #3, pilar kedua dan ketiga dari arah timur/kiri. Di pilar #4, pilar paling barat, yang merupakan bagian thalweg (alur utama, bagian terdalam sungai), jejak gerusan lokal tidak dapat diketahui karena dasar sungai tidak tampak. Namun, kita dapat memperkirakan bahwa di fondasi pilar #4 ini pun hampir pasti terjadi pula gerusan lokal.
Jejak gerusan lokal di sekitar pilar #3, 2006
Sebagai bagian dari kajian dan desain rehabilitasi Jembatan Kebonagung, pada 2006, penulis melakukan pengukuran profil dasar sungai di sekitar jembatan, termasuk pengukuran dasar sungai di sekeliling pilar #4. Pengukuran dasar sungai di sekitar pilar ini dilakukan dengan teknik echosounding. Pengukuran dilakukan dari atas pilecap. Akses ke lokasi pengukuran adalah dengan cara turun dan naik dengan panjat tali (rappeling). Penulis bekerja sama dengan para mahasiswa anggota Palasigma, unit kegiatan mahasiswa pecinta alam Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil FT UGM. Hasil echosounding menunjukkan bahwa akibat degradasi dasar sungai dan gerusan lokal, dasar sungai di sekitar pilar #4 hampir mencapai dasar fondasi sumuran, sekira 1.5 m di atas dasar fondasi sumuran. Hal ini tentu saja sangat membahayakan keamanan jembatan. Risiko kegagalan fondasi sangat besar.
Akses menuju ke pilecap, tempat pengukuran profil dasar sungai di sekeliling pilar #4
Profil dasar Sungai Progo di Jembatan Kebonagung, 2006
Bina Marga DIY sebagai autoritas jalan dan jembatan tingkat provinsi telah mengupayakan rehabilitasi Jembatan Kebonagung dengan melakukan perencanaan teknis (Detailed Engineering Design, DED) perlindungan jembatan. Hasil perencanaan adalah pembangunan groundsill baru konstruksi beton di hilir lokasi groundsill lama yang patah, pada jarak 55 meter dari jembatan. Mercu groundsill dirancang sejajar dengan dasar pilecap jembatan. Groundsill dirancang akan mengembalikan dasar sungai di jembatan pada elevasi dasar pilecap jembatan. Hanya saja, karena biaya pembangunan groundsill baru terlalu besar, sekira 16 milyar rupiah, maka pembangunan groundsill baru ini dipandang tidak layak secara ekonomi. Mahalnya biaya pembangunan groundsill disebabkan antara lain oleh dimensi groundsill. Bentang groundsill adalah 110 meter, tinggi groundsill adalah 3.6 meter, serta panjang lantai hilir adalah 22 meter. Dimensi groundsill dirancang berdasarkan debit banjir 50-tahunan, yaitu 1800 meter-kubik per detik.
Potongan melintang groundsill beton yang direncanakan sebagai pelindung Jembatan Kebonagung; groundsill ini tidak dapat dibangun karena biaya konstruksi melebihi ketersediaan anggaran
Karena biaya konstruksi groundsill yang terlalu mahal, maka Bina Marga DIY mempertimbangkan groundsill yang lebih murah sebagai alternatif perlindungan jembatan. Groundsill alternatif ini memanfaatkan sisa groundsill lama dan menyambungnya dengan groundsill baru. Panjang groundsill alternatif adalah 100 meter, terdiri dari groundsill baru berupa konstruksi beton, 43 meter, dan perbaikan groundsill lama yang masih ada, 57 meter. Blok-blok beton yang masih ada ditata ulang, ditempatkan di hilir groundsill sebagai peredam energi aliran untuk melindungi kaki hilir groundsill. Dimensi groundsill alternatif dirancang berdasarkan debit banjir 2-tahunan, yaitu 200 meter-kubik per detik. Rancangan groundsill dengan debit banjir 2-tahunan ini mengandung risiko kegagalan groundsill (tahunan) 1/2 atau 50%. Risiko ini memang cukup tinggi, tetapi terpaksa dipertimbangkan sebagai alternatif perlindungan Jembatan Kebonagung karena faktor ketersediaan anggaran untuk biaya konstruksi dan dilandasi dengan harapan bahwa groundsill yang lebih permanen segera dibangun. Pada saat itu, 2007, telah diketahui bahwa Ditjen SDA PU memiliki rencana untuk membangun groundsill sekira 260 meter di hilir Jembatan Kebonagung. Groundsill yang direncanakan oleh Ditjen SDA PU ini merupakan bagian dari rangkaian struktur pengendali sedimen di Sungai Progo. Hanya saja, pada waktu itu belum diketahui kepastian waktu pembangunan groundsill ini. Sayang, walau pun telah memiliki desain groundsill alternatif yang murah, tetap saja Bina Marga menghadapi kenyataan ketidak-cukupan anggaran untuk membangun groundsill alternatif yang diperkirakan sebesar 1.2 milyar rupiah.
Pada akhirnya, Bina Marga DIY melaksanakan perlindungan jembatan dengan cara perlindungan langsung di pilar/fondasi jembatan, yaitu dengan memasang lantai (footingapron) di sekeliling pilar/fondasi yang dibuat dari bronjong batu kali. Di pilar yang tidak mengalami degradasi dasar sungai (selain pilar #4), mercu lantai bronjong adalah sama dengan elevasi dasar sungai. Di pilar #4 yang telah mengalami degradasi dasar sungai cukup dalam, mercu lantai bronjong adalah sama dengan sisi bawah pilecap. Cara ini ditempuh untuk meminimumkan hambatan aliran oleh tumpukan bronjong. Upaya perlindungan ini merupakan upaya sementara, sambil berharap bahwa groundsill yang direncanakan oleh Ditjen SDA PU di hilir Jembatan Kebonagung segera dibangun. Bersyukur, Ditjen SDA PU telah merealisasikan groundsill permanen ini pada 2009. Di bawah ini adalah foto-foto yang saya buat pada dua waktu yang berbeda, yaitu pada 2007 saat lantai bronjong baru selesai ditempatkan di sekeliling pilar/fondasi dan pada 2010 saat groundsill di hilir Jembatan Kebonagung telah dibangun oleh Ditjen SDA PU.
Lantai bronjong batu kali untuk melindungi pilar/fondasi dari ancaman gerusan lokal, foto diambil pada November 2007, saat musim hujan pertama setelah lantai bronjong selesai dipasang
Lantai bronjong di pilar jembatan, foto diambil pada 2010, pada saat itu groundsill telah dibangun di lokasi sekira 260 meter dari jembatan
Tayangan yang Berkaitan
Tayangan tentang Goundsill Kebonagung yang saya sampaikan pada kuliah Teknik Sungai. Klik di sini.
Jembatan Trinil melintas Sungai Progo, menghubungkan Desa Kalijoso, Kecamatan Secang dengan Desa Banjarsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jembatan Trinil dapat dicapai dari jalan Magelang-Secang, berbelok ke kiri (ke barat) di Payaman, kemudian menyusur jalan yang menghubungkan Desa Kalijoso dan Desa Banjarsari. Posisi jembatan berada pada koordinat bujur dan lintang 110°12’54” BT, 7°24’36” LS atau pada koordinat UTM 49 M 413374 m E, 9180846 m S. Jarak perjalanan darat ke Jembatan Trinil dari Mungkid, ibukota Kabupaten Magelang, adalah sekira 25 km.
Jembatan Trinil, melintasi Sungai Progo di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (imaji Apple’s Maps)
Tulisan ini mengacu kepada peristiwa kegagalan pilar/fondasi jembatan pada 2009 dan 2010. Pada kejadian itu, pilar/fondasi jembatan ambles dan mengakibatkan penurunan gelagar jembatan.
Jembatan Trinil dibangun pada 1972. Jembatan berdiri di atas 3 pilar pasangan batu kali yang ditopang oleh fondasi dangkal. Panjang bentang jembatan lebih kurang 70 m. Pada 2007 dilaporkan adanya indikasi gerusan lokal di pilar #1 (pilar paling timur, di sisi Kalijoso). Pada 2008, dilakukan pekerjaan rehabilitasi jembatan, berupa penggantian struktur atas. Struktur bawah tidak mengalami perubahan berarti, hanya pemberian lapis plesteran pada pilar.
Pada 25 dan 28 Februari 2009, pilar #3 (paling barat) turun (ambles) yang memutuskan lalu lintas melewati jembatan. Belum sempat jembatan diperbaiki, setahun kemudian pada 4 Maret 2010, pilar #1 dan #2 miring karena fondasi yang menyangganya ambles.
Pada peristiwa yang pertama, laporan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Magelang menyebutkan bahwa Rabu, 25 Februari 2009, sore hari pukul 16:00 sampai dengan 18:00, aliran banjir melewati Jembatan Trinil. Menurut laporan yang sama, aliran air melimpas lebih kurang 20 cm di atas lantai jembatan. Pilar #3 turun dan mengakibatkan plat lantai nomor 3 dan 4 bergeser lebih kurang 2 cm. Pada Sabtu, 28 Februari 2009, sekitar pukul 11:30, pilar #3 turun 50 cm hingga lalu lintas tidak dapat lagi melewati jembatan.
Sebuah jembatan darurat tipe bailey kemudian dipasang di atas bentang #3 dan #4 untuk memfasilitasi lalu lintas melewati jembatan.
Memperhatikan foto-foto Jembatan Trinil pasca pilar #3 ambles serta membaca laporan adanya aliran banjir yang melimpas melewati jembatan, maka dapat diduga bahwa pilar jembatan mengalami gerusan lokal dan pembebanan horizontal oleh gaya hidrodinamik aliran banjir. Degradasi dasar sungai tidak terjadi karena adanya groundsill di hilir jembatan.
Jembatan Trinil tampak dari hilir setelah pilar #3 ambles pada 28 Februari 2009; tampak sebuah groundsill di latar depan; groundsill mencegah degradasi dasar sungai (foto diperoleh dari Ery Agung Kisworo)Tampak hilir bentang $3 dan #4 yang miring setelah pilar #3 ambles pada 28 Februari 2009 (foto diperoleh dari Ery Agung Kisworo)Tampak hilir jembatan bailey yang dibangun di atas bentang #3 dan #4 setelah pilar #3 ambles pada 28 Februari 2009 (foto diperoleh dari Ery Agung Kisworo)
Setahun kemudian, pada Kamis 5 Maret 2010, pilar #1 dan #2 ambles. Menurut laporan Dinas Pekerjaan Umum dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Magelang, pada hari itu terjadi hujan deras pada pukul 16:00 yang disusul dengan aliran banjir melewati Jembatan Trinil pada pukul 18:00. Aliran banjir melimpas sampai 80 cm di atas lantai jembatan. Kerusakan pada pilar jembatan meliputi fondasi pilar #1 (pilar paling timur, di sisi Kalijoso) ambles dan pilar #1 miring ke arah hilir sedalam 80 cm, serta fondasi pilar #2 (pilar tengah) ambles dan pilar #2 miring ke arah hilir sedalam 100 cm. Kedua pilar tersebut bergeser 1.5 m ke arah hilir pada bagian tengah, mengakibatkan jembatan darurat bailey yang dibangun pada 2009 miring. Pilar #3 yang sudah miring pada 2009, tidak berubah.
Dengan peristiwa ini, semua pilar/fondasi telah ambles dan miring. Jembatan tidak dapat lagi dilewati, lalu lintas melewati jembatan sepenuhnya terputus. Foto-foto di bawah ini penulis ambil pada 12 dan 21 Maret 2010, beberapa hari setelah pilar #1 dan #2 ambles.
Jembatan Trinil tampak dari hilir setelah ketiga pilar ambles pada 4 Maret 2010, foto diambil pada 12 Maret 2010Jembatan Trinil tampak dari hulu setelah ketiga pilar ambles pada 4 Maret 2010, foto diambil pada 12 Maret 2010Aliran di groundsill yang berada di hilir Jembatan Trinil, foto diambil pada 12 Maret 2010Tampak hulu Jembatan darurat bailey di atas Jembatan Trinil setelah ketiga pilar ambles pada 4 Maret 2010, foto diambil pada 21 Maret 2010Tampak hulu Jembatan darurat bailey di atas Jembatan Trinil setelah ketiga pilar ambles pada 4 Maret 2010, foto diambil pada 21 Maret 2010
Prediksi Kedalaman Gerusan Lokal
Memperhatikan laporan adanya aliran banjir yang melimpas di atas jembatan serta mengingat adanya groundsill di hilir jembatan, maka dugaan adanya gerusan lokal di pilar jembatan sebagai salah satu pemicu amblesnya pilar/fondasi jembatan sangatlah kuat. Penulis telah melakukan kajian untuk memprediksi kedalaman gerusan lokal di pilar Jembatan Trinil.
Kajian diawali dengan rekonstruksi aliran banjir Sungai Progo di Jembatan Trinil pada 4 Maret 2010. Ini dilakukan untuk memperkirakan kedalaman dan kecepatan aliran banjir di Jembatan Trinil pada saat itu. Penulis dan tim kajian yang terdiri dari kolega, mahasiswa, serta surveyor, mengumpulkan data:
debit aliran pada 4 Maret 2010 di Bendung Badran yang berada 5 km di hulu Jembatan Trinil, diperoleh dengan cara mengonversi data muka air di Stasiun AWLR Badran menjadi debit aliran berdasarkan liku kalibrasi debit Bendung Badran,
curah hujan pada 4 Maret 2010 di Stasiun ARR Badran,
geometri sungai di sekitar Jembatan Trinil dari groundsill di hilir jembatan sampai 1 km ke hulu, diukur secara terestris,
ukuran butir material dasar sungai di Jembatan Trinil.
Rekonstruksi banjir dilakukan dengan bantuan program aplikasi HEC-RAS. Batas hulu domain model berada 1 km di hulu jembatan dan batas hilir domain model adalah groundsill di hilir jembatan. Syarat batas di hulu adalah hidrograf banjir yang diperoleh dengan cara penelusuran banjir hidrologis berdasarkan hidrograf banjir di Bendung Badran, sedangkan syarat batas hilir adalah muka air kritis di groundsill. Kalibrasi model aliran dilakukan berdasarkan informasi bahwa banjir melimpas 80 cm di atas lantai jembatan. Rekonstruksi ini memberikan informasi bahwa pada banjir 4 Maret 2010 di Jembatan Trinil kedalaman aliran adalah 7 m, kecepatan aliran tertinggi adalah 3.3 m/s, dan debit puncak adalah 1125 m^3/s.
Kedalaman gerusan dasar sungai di pilar/fondasi Jembatan Trinil diperkirakan dengan memakai Persamaan CSU, yang berlaku pada gerusan tipe clear-water maupun live-bed:
Kedalaman gerusan di pilar jembatan dapat pula diperkirakan dengan memakai Persamaan Froehlich, yang biasanya dipakai untuk memperkirakan kedalaman gerusan lokal di pilar jembatan pada perencanaan teknis jembatan. Persamaan Froehlich dapat dituliskan sebagai berikut:
Dalam Persamaan CSU dan Persamaan Froehlich tersebut, ds adalah kedalaman gerusan lokal di pilar jembatan, K1, K2, K3, K4 masing-masing adalah koefisien (faktor koreksi) yang merepresentasikan pengaruh bentuk pilar, arah (sudut datang) aliran, butir sedimen dasar, serta armoring butir sedimen dasar, φ adalah faktor koreksi yang merupakan fungsi bentuk pilar, Dp adalah diameter pilar, h1 adalah kedalaman aliran di sisi hulu jembatan, dan Fr1 adalah Angka Froude aliran di sisi hulu jembatan. CSU membatasi kedalaman gerusan, yaitu ds ≤ 2.4 Dp jika Fr ≤ 0.8 dan ds ≤ 3 Dp jika Fr > 0.8.
Data geometri pilar, ukuran butir material dasar, serta parameter aliran adalah:
diameter butiran : 2 mm
lebar pilar : 3 m
panjang pilar : 6.1 m
kedalaman aliran : 7 m
kecepatan aliran : 3.3 m/s
Angka Froude : 0.4
Persamaan CSU memberikan prediksi kedalaman gerusan di pilar Jembatan Trinil pada banjir 4 Maret 2010 sebesar 2.6 m, sedangkan Persamaan Froehlich memberikan prediksi kedalaman gerusan yang lebih besar, yaitu 4.8 m. Dari kedua angka ini, dapat diperkirakan bahwa kedalaman gerusan yang terjadi pada saat banjir 4 Maret 2010 telah melampaui dasar fondasi pilar Jembatan Trinil, yaitu 2 m. Dengan demikian, sangatlah kuat dugaan bahwa pilar Jembatan Trinil ambles akibat gerusan lokal dasar sungai di pilar/fondasi jembatan.
Hidrograf aliran banjir 4 Maret 2010 di Bendung Badran (warna cyan) dan di 1 km hulu Jembatan Trinil (warna kuning)Profil muka air banjir 4 Maret 2010 di Jembatan Trinil hasil simulasi dengan HEC-RASMuka air banjir maksimum di Jembatan Trinil pada 4 Maret 2010 hasil simulasi dengan HEC-RAS
Jembatan Pabelan melintas Sungai Pabelan di jalan raya Yogyakarta-Magelang. Sungai Pabelan adalah salah satu anak Sungai Progo yang berpangkal di lereng G. Merapi. Dari Yogyakarta, jembatan ini berada setelah kota Kecamatan Muntilan. Di lokasi ini terdapat 2 jembatan, yaitu jembatan lama yang ditopang oleh pilar dan fondasi pasangan batu kali, serta jembatan baru yang ditopang oleh pilar beton. Jembatan lama dipakai sebagai lajur jalan ke arah Magelang, sedangkan jembatan baru dipakai sebagai lajur jalan arah ke Yogyakarta. Bentang jembatan lebih kurang 36 meter. Jembatan lama dibangun pada 1960an, sedangkan jembatan baru dibangun pada 2005.
Pada 30 Maret 2011 terjadi aliran banjir di Sungai Pabelan yang menghanyutkan salah satu bentang jembatan lama. Laiknya banjir di sungai-sungai yang berhulu di G. Merapi, banjir saat itu adalah banjir yang membawa material sedimen hasil erupsi vulkanik. Aliran banjir seperti ini dalam khasanah teknik sungai dikenal sebagai aliran debris atau banjir lahar hujan (sebagian orang menyebut banjir ini dengan nama “banjir lahar dingin”).
Berbeda dengan banjir biasa, banjir lahar hujan memiliki energi kinetik yang besar karena massa fluida yang besar, yang berupa campuran air dan material padat (air+sedimen). Jejak banjir 30 Maret 2011 tidak hanya hanyutnya salah satu bentang Jembatan Pabelan, tetapi tampak pula pada jebolnya groundsill di hilir jembatan serta tergerusnya pilar beton jembatan. Groundsill di hilir jembatan berfungsi sebagai pengaman jembatan terhadap ancaman degradasi dasar sungai. Dasar sungai di hulu groundsill lebih tinggi daripada dasar sungai di hilir groundsill. Biasanya, mercu groundsill dibuat sejajar dengan pilecap fondasi jembatan. Saat groundsill jebol, maka aliran air akan menggerus dasar sungai di hulu groundsill hingga rata dengan dasar sungai di hilir groundsill dan membentuk kemiringan dasar sungai yang baru. Turunnya dasar sungai di jembatan, dan dibarengi dengan gerusan lokal di pilar jembatan, menjadi ancaman serius bagi keamanan jembatan. Hal terjadi pada pilar jembatan lama. Fondasi ambles dan pilar miring ke arah Yogyakarta sehingga gelagar jembatan di bentang arah Magelang lepas dari tumpuannya dan jatuh, membawa serta lantai jembatan. Pada kunjungan penulis pada 31 Maret 2011, penulis tidak melihat bekas gelagar dan lantai jembatan yang jatuh ke sungai.
Mengapa pasca banjir tidak tampak jejak (lubang) gerusan lokal di pilar Jembatan Pabelan? Menurut hemat penulis, ini sangat mungkin disebabkan oleh telah tertutupnya lubang gerusan oleh sedimen pada saat banjir surut. Pada banjir lahar hujan, mekanisme gerusan lokal di pilar jembatan adalah live-bed scour. Artinya, gerusan ditimbulkan oleh aliran air yang membawa sedimen dari hulu. Ini berbeda dengan clear-water scour, yaitu gerusan yang ditimbulkan oleh aliran air yang tidak membawa sedimen dari hulu. Pada live-bed scour, dapat terjadi penutupan lubang gerusan oleh sedimen yang masih datang pada saat banjir sedang surut, yang melebihi kemampuan aliran air menggerus dasar sungai di pilar jembatan. Transpor netto sedimen di lubang gerusan, dengan demikian, telah menutup lubang gerusan lokal.
Foto-foto di bawah ini penulis ambil pada 31 Maret 2011 pagi.
Groundsill jebol menyebabkan degradasi dasar sungai di Jembatan Pabelan, yang kemudian bersama-sama dengan gerusan lokal di dasar sungai di pilar jembatan menyebabkan fondasi ambles, pilar miring, dan akhirnya lantai jembatan jatuhDaya rusak aliran banjir lahar hujan mampu menggerus pilar jembatan yang dibuat dari beton bertulangTampak bawah Jembatan Pabelan pasca banjir lahar hujan 30 Maret 2011
Jembatan Kereta Api Comal merupakan jembatan kereta api lintas Pekalongan-Tegal, tepatnya di antara Comal-Petarukan. Nama formal jembatan ini adalah Jembatan BH 474 Sungai Comal Lintas Semarang-Cirebon. Artikel ini didasarkan pada peristiwa 20 Juni 2001 saat pilar #1 ambles dan mengakibatkan jembatan miring serta memutuskan lalu lintas kereta api lintas Semarang-Cirebon. Di bidang perkereta-apian, terputusnya lalu lintas kereta api seperti ini disebut dengan “rinja”, singkatan dari “rintangan jalan”.
Jembatan KA BH 474, melintasi Sungai Comal di Comal, Jawa Tengah
Jembatan BH 474 dibangun pada 1898 oleh SCS (Semarang-Chirebon Stoom Tram Maatschappij). Struktur jembatan pada saat itu adalah:
struktur atas rangka baja, bentang 2×60 m
pangkal jembatan pasangan batu kali, fondasi langsung
pilar jembatan pasangan batu kali, fondasi sumuran
Pada 1977, struktur atas jembatan diganti. Masih berupa rangka baja, tetapi jenisnya berbeda. Struktur bawah jembatan tidak mengalami perubahan.
Pada 1987, dilakukan rehabilitasi jembatan dengan penggeseran pangkal jembatan di arah Cirebon. Rehabilitas ini dilakukan menyusul longsornya tebing sungai di sisi/arah Cirebon akibat gerusan tebing oleh aliran air sungai. Pangkal jembatan baru berupa struktur beton, berdiri di atas fondasi tiang pancang. Posisi yang semula ditempati pangkal jembatan digantikan oleh pilar beton yang ditopang oleh fondasi tiang pancang. Bentang jembatan menjadi 60+60+12 m. Rehabilitasi jembatan pada saat itu dibarengi pula dengan upaya perlindungan jembatan terhadap ancaman gerusan oleh aliran air sungai, yaitu:
perkuatan dasar sungai di arah Cirebon dengan geogrid (bronjong batu kali),
pemberian selimut turap baja yang diisi dengan pasir+batu (sirtu) di sekeliling pilar #1 (pilar lama)
Jembatan BH 474 pada masa awal, periode 1898-1977 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]Jembatan BH 474 setelah penggantian struktur atas rangka baja, periode 1977-1987 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]Jembatan BH 474 setelah rehabilitasi pada 1987, yaitu penggeseran pangkal jembatan ke arah Cirebon dan perlindungan jembatan terhadap gerusan dasar sungai oleh aliran air [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]
Alih-alih melindungi pilar jembatan, maka pemberian “selimut” di sekeliling pilar #1 tersebut justru berakibat sebaliknya. Pilar #1 bertambah rentan terhadap ancaman gerusan dasar sungai di sekeliling pilar. Pelindung pilar yang berupa “selimut” ini telah memperbesar diameter pilar, yang pada gilirannya menambah risiko kedalaman gerusan. Para peneliti telah melaporkan bahwa gerusan di depan pilar bertambah dalam seiring dengan pertambahan ukuran (diameter) pilar. Belum lagi, perbesaran pilar telah mengurangi lebar sungai yang berisiko menaikkan kecepatan aliran air, yang pada akhirnya berisiko memperdalam gerusan dasar sungai di sisi kanan-kiri pilar.
Selimut turap baja berisi sirtu di sekeliling pilar #1, 1987 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]
Pada 1999, PT Kereta Api (Persero) mendeteksi indikasi pergerakan pilar atau pangkal jembatan. Setelah pemeriksaan, didapati bahwa pilar #1 (pilar lama) ambles di sisi hulu. Jembatan masih dapat berfungsi. Pengamanan jembatan telah dilakukan menyusul pergerakan pilar #1 ini.
Pada 2000, turap baja di pilar #1 bergerak (miring) dan timbunan sirtu di dalam selimut pilar #1 menunjukkan adanya penurunan (ambles). Penanganan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dilakukan dengan penambahan turap baja di sisi/arah Semarang, penambahan sirtu kedalam selimut, dan penyuntikan (grouting) pada timbunan sirtu di sekeliling pilar #1. Pada struktur atas, dilakukan pengangkatan jalan rel dan perbaikan tumpuan (andas) baja.
Penambahan turap baja di bagian turap awal yang mengalami pergerakan, tahun 2000 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]Penyuntikan (grouting) pada timbunan sirtu di sekeliling pilar #1, tahun 2000 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]
Puncak kegagalan Jembatan BH 474 terjadi pada 20 Juni 2001 ketika pilar #1 ambles yang mengakibatkan bentang jembatan turun dan memutuskan lalu lintas kereta lintas Semarang-Cirebon selama beberapa hari. Pantauan pada awal Juni 2001 menunjukkan adanya penurunan pilar #1. Pada 14 Juni 2001, pilar #1 turun 9.5 cm dan miring ke arah Cirebon. Pada 20 Juni 2001, pukul 06:00, penurunan pilar #1 menunjukkan angka 10 cm dan pada pukul 18:00, penurunan pilar #1 mencapai 188 cm. Lalu lintas kereta melintasi Jembatan BH 474 ditutup dari kedua arah.
Pilar #1 ambles 188 cm ke arah Cirebon pada 20 Juni 2001 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]Pilar #1 miring ke arah Cirebon, 20 Juni 2001 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]
PT Kereta Api (Persero) pada saat itu telah langsung melakukan penanganan “rinja” untuk memulihkan lalu lintas kereta lintas Semarang-Cirebon. Langkah-langkah penanganan adalah sebagai berikut:
penempatan penopang sementara di kedua sisi pilar #1,
pengangkatan jembatan,
penempatan gelagar tambahan untuk menyangga jembatan, bertumpu pada penopang sementara,
pembongkaran pilar #1 dan penggantian pilar miring ini dengan pilar baru.
Penopang sementara di kedua sisi pilar #1 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]Pengangkatan jembatan untuk mengembalikan posisi lantai jalan rel [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]Pemasangan gelagar sementara untuk menyangga jembatan, bertumpu pada penopang sementara [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]Pembongkaran pilar #1 yang miring [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]
Pada pekerjaan penanganan rinja di atas, dibuat jalan akses ke pilar #1 berupa tanggul timbunan tanah, dari tebing sungai ke posisi pilar #1. Sangat disayangkan bahwa jalan akses ini tidak dilengkapi dengan jalan air (gorong-gorong) yang memadai. Jalan akses membentang hampir separuh bentang sungai, namun hanya memiliki satu gorong-gorong berukuran kecil. Akibatnya, jalan akses membelokkan sebagian besar aliran air ke kanan (sisi jembatan arah Semarang). Hal ini berisiko terjadinya gerusan di dasar sungai dan di tebing sungai sisi/arah Semarang. Seharusnya, jalan akses menyediakan gorong-gorong yang cukup, sedemikian hingga meminimumkan pembelokan aliran air.
Jalan akses untuk pembongkaran dan penggantian pilar #1 [gambar diperoleh dari PT Kereta Api (Persero)]
Tayangan yang Berkaitan
Tayangan tentang Jembatan KA Comal yang saya sampaikan pada kuliah Teknik Sungai. Klik di sini.
Suwandi, 10×24 Jam di Comal akibat Amblesnya Pilar I BH 474, Subdit. Jalan Rel dan Jembatan, Kantor Pusat PT. Kereta Api (Persero), Bandung, disampaikan pada Pelatihan Hidraulika Sungai, kerjasama PT. Kereta Api (Persero) – Jurusan Teknik Sipil FT UGM, 2001.
Pada saat belajar hidraulika, kita pasti berjumpa dengan persamaan dasar aliran (flow governing equations). Keluhan yang muncul ketika mempelajari persamaan aliran adalah sulitnya memahami persamaan tersebut. Pertanyaan yang muncul antara lain: 1) Apakah perbedaan antara persamaan momentum dan persamaan kontinuitas selain bentuknya yang memang jelas berbeda? 2) Mengapa ada persamaan aliran yang berbentuk diferensial dan ada pula yang berbentuk integral? 3) Bagaimana cara membaca persamaan-persamaan itu agar dapat memahami arti fisiknya?
Sebagai tenaga pendidik (dosen), saya pun tidak jarang mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan kepada para peserta didik mengenai persamaan aliran. Hal ini terasa sekali manakala berdiri di kelas magister (S2) atau pun berdiskusi dengan mahasiswa doktor (S3). Apalagi ketika materi diskusi telah masuk ke detail tentang aliran turbulen. Saya pun menengarai adanya keengganan sebagian mahasiswa untuk membaca dengan tekun dan berusaha memahami persamaan aliran. Termasuk yang enggan ini adalah sebagian pengguna program aplikasi hidrodinamika. Mereka cenderung puas sebagai pengguna yang dapat menjalankan program aplikasi dan melakukan simulasi aliran, tetapi tidak berusaha membaca dan memahami cara kerja dan cara progam aplikasi memodelkan aliran.
Saya pernah membuat catatan mengenai persamaan aliran yang memaparkan berbagai bentuk persamaan aliran, dari bentuk diferensial dan integral sampai ke bentuk konservatif dan non-konservatif. Saya mencoba pula memberikan pemahaman arti fisik dari suku-suku dalam persamaan aliran. Catatan ini ada di dalam artikel mengenai model hidrodinamika. Tertarik membacanya? Silakan membaca artikel lengkap…
Groundsill Kretek di Sungai Opak dibangun pada 2003 oleh Bina Marga DIY sebagai pengaman Jembatan Kretek, yang merupakan jalan akses ke Pantai Parangtritis, Kabupatan Bantul, DI Yogyakarta. Groundsill berada lebih kurang 160 meter di hilir Jembatan Kretek. Posisi Groundsill Kretek berada pada koordinat bujur dan lintang 110°18’51” BT, 7°59’25” LS atau pada koordinat UTM 49 M 424418 m E, 9116724 m S.
Groundsill Kretek berada di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, berada di jalan akses menuju Pantai Parangtritis, lebih kurang 30 kilometer dari Kota Yogyakarta (imaji Apple’s Maps)
Groundsill Kretek berfungsi sebagai pelindung Jembatan Kretek, berada lebih kurang 160 meter di hilir jembatan (imaji Google Earth)
Pada 25 Juni 2007, groundsill mengalami kegagalan struktural yang mengakibatkan runtuhnya struktur groundsill di bagian tengah bentang sepanjang lebih kurang 31 meter. Saat itu, sisa groundsill yang masih berdiri sekitar 154 m dari panjang bentang groundsill 185 meter. Itu pun, sebagian groundsill yang masih berdiri berada dalam posisi miring ke arah hilir. Peristiwa ini mengakibatkan degradasi dasar sungai. Di pilar Jembatan Kretek, degradasi dasar sungai mencapai sekira 3 meter.
Tampak hulu Groundsill Kretek pasca jebol 25 Juni 2007 [foto diambil pada 19 Agustus 2007]
Tampak hulu Groundsill Kretek pasca jebol 25 Juni 2007 (foto diambil pada 12 September 2007)
Struktur groundsill berupa turap beton K700 yang dipancang dalam dua baris (deret) melintang sungai, sejajar satu dengan yang lain. Panjang turap hulu 7 meter, panjang turap hilir 6 meter. Turap dipancang sedemikian hingga tinggi mercu turap hulu 1.5 meter dari dasar sungai di bagian yang terdalam dan mercu turap hilir 1 meter lebih rendah daripada mercu turap hulu. Di bagian sungai yang dangkal, tinggi mercu turap hulu 1 meter di atas dasar sungai dan mercu turap hilir hampir sejajar dengan dasar sungai. Mercu turap di setiap deret disatukan dengan cap beton bertulang. Jarak antara deret turap hulu dan hilir adalah 2 meter. Ruang di antara deret turap hulu dan hilir berisi bronjong batu kali tebal 1 meter. Panjang bentang groundsill 185 meter, terdiri dari bagian peluap 175 meter serta sayap di kiri dan kanan, masing-masing 5 meter. Tinggi mercu sayap di kiri dan kanan adalah 1 meter di atas mercu turap hulu.
Tampang memanjang Groundsill Kretek (gambar diperoleh dari Bina Marga DIY)
Potongan melintang Groundsill Kretek pada saat dibangun (gambar kiri, 2003, gambar diperoleh dari Bina Marga DIY) dan setelah sebagian bentang groundsill jebol (gambar kanan, 2007)
Gambar tampang memanjang dan melintang Groundsill Kretek menunjukkan bahwa, pada saat pembangunan groundsill pada 2003, tinggi mercu groundsill dari dasar sungai adalah 1 sampai 1.5 meter dan bagian turap yang berada di dalam tanah adalah 5 sampai 6 meter. Foto-foto Groundsill Kretek pasca peristiwa groundsill jebol 25 Juni 2007 menunjukkan bahwa selama 4 tahun, 2003 sampai 2007, telah terjadi perubahan posisi mercu groundsill terhadap dasar sungai, atau lebih tepatnya adalah perubahan posisi dasar sungai terhadap mercu groundsill. Foto-foto menampakkan bahwa jarak mercu groundsill (mercu turap hulu) terhadap dasar sungai di hilirnya mencapai sekira 4 meter, atau bahkan mencapai 6 meter menjelang groundsill jebol. Hal ini dapat disimpulkan dari fakta bahwa turap, yang semula dipancangkan sedalam 5 sampai 6 meter, sebagiannya telah roboh. Bahkan, salah satu sisa turap tampak miring ke arah hulu, yang jelas membuktikan bahwa dasar sungai di tempat tersebut berada di bawah ujung bawah turap tersebut. Pengukuran dasar sungai di lokasi groundsill pada 30 Agustus 2007 yang dilakukan oleh Bina Marga DIY menunjukkan bahwa elevasi dasar sungai di bagian groundsill yang jebol adalah +87.057 meter. Dasar sungai ini adalah 3.8 meter di bawah dasar sungai 2003 yang berada pada elevasi +90.926 meter. Perbedaan posisi dasar sungai ini merupakan akibat degradasi dasar sungai. Menjelang dan saat turap roboh, dasar sungai di bagian turap yang roboh pastilah lebih rendah lagi karena adanya gerusan lokal. Gerusan lokal ini tidak tampak lagi karena telah tertutup oleh material dasar sungai pasca turap roboh. Yang masih tampak pasca turap roboh adalah jejak degradasi dasar sungai. Dasar sungai di hulu dan hilir groundsill menjadi sejajar dan kemiringan dasar sungai di hulu dan hilir groundsill menjadi sama. Terhadap dasar sungai pada 2003, kedalaman degradasi adalah 3.8 meter. Kedalaman gerusan lokal menjelang dan saat turap runtuh dapat diperkirakan sekira 1.2 sampai 2 meter (dasar sungai mencapai ujung bawah turap).
Detail bagian Groundsill Kretek yang jebol pada peristiwa 25 Juni 2007 (foto diambil pada 29 Juni 2007)
Turap beton yang miring dengan posisi ujung bawah bergeser ke hilir menunjukkan bahwa degradasi dasar sungai dan gerusan lokal telah menyebabkan turap tersebut tidak lagi tertanam di dasar sungai menjelang groundsill jebol pada 25 Juni 2007 (foto diambil pada 29 Juni dan 12 September 2007)
Di Jembatan Kretek, jejak degradasi dasar sungai akibat groundsill jebol tampak dari foto yang diambil pada 12 September 2007. Dari perbedaan warna pilar, dapat diperkirakan bahwa degradasi dasar sungai di Jembatan Kretek adalah sekira 3 meter. Ini sesuai dengan hasil pengukuran elevasi dasar sungai di lokasi groundsill yang menunjukkan perbedaan 3.9 meter antara posisi dasar sungai pada 2003 dan 2007 seperti yang telah dipaparkan pada paragraf sebelum paragraf ini. Jejak gerusan lokal di sekitar pilar jembatan tidak tampak. Hal ini tidak berarti bahwa gerusan lokal tidak terjadi. Saat groundsill jebol, air sungai mengalir dengan cepat dan kemungkinan besar mampu menimbulkan gerusan lokal di sekitar pilar jembatan. Lubang gerusan telah tertutup oleh material sungai pada saat kecepatan aliran surut.
Jejak degradasi dasar sungai akibat Groundsill Kretek jebol pada 25 Juni 2007 (foto diambil pada 12 September 2007)
Dari jejak-jejak yang ditinggalkan oleh aliran air di sungai akibat groundsill jebol, maka dinamika dasar sungai di Groundsill Kretek yang berujung pada peristiwa groundsill jebol pada 25 Juni 2007 kiranya dapat dipaparkan secara teknis-kronologis menurut paragraf-paragraf di bawah ini.
Ilustrasi dinamika dasar sungai di Groundsill Kretek yang berujung pada peristiwa groundsill jebol pada 25 Juni 2007
1) Pada awalnya, saat groundsill dibangun, tinggi mercu groundsill terhadap dasar sungai adalah 1.5 meter (turap hulu) atau 0.5 meter (turap hilir).
2) Laiknya sebuah pembendungan aliran, maka terjadi agradasi dasar sungai di hulu groundsill dan degradasi dasar sungai di hilir groundsill. Dasar sungai di hulu groundsill naik karena material sedimen yang dibawa aliran tertahan. Hal ini berlangsung sampai dasar sungai di hulu groundsill sejajar dengan mercu groundsill dan kemiringan dasar sungai dicapai. Dasar sungai di hilir groundsill turun sebagai konsekuensi dari tertahannya sedimen di hulu groundsill.
3) Degradasi dasar sungai di hilir Groundsill Kretek tampaknya berlanjut walau dasar sungai di hulu groundsill telah stabil. Hal ini dapat disebabkan oleh pasokan sedimen dari hulu yang berkurang sehingga tidak mampu mengimbangi transpor sedimen di hilir groundsill, serta aktivitas penambangan pasir sungai di hilir Groundsill Kretek (lihat foto yang diambil pada 12 September 2007).
4) Terjadi gerusan lokal di hilir Groundsill Kretek, utamanya pada saat aliran memiliki debit besar. Aliran air mampu menggerus dasar sungai di hilir groundsill karena tidak ada struktur peredam energi aliran. Gerusan di hilir groundsill bertambah dalam seiring dengan head (beda tinggi energi antara hulu dan hilir groundsill) yang makin besar. Head makin besar karena degradasi dasar sungai di hilir groundsill.
5) Selain gerusan lokal yang makin dalam, head yang besar memicu aliran air di bawah groundsill, yang dikenal sebagai seepage. Seepage dapat berlanjut dengan piping, yaitu aliran air di medium solid yang mampu membawa butir tanah/sedimen. Piping menyebabkan tanah di bawah groundsill “keropos” dan melemahkan daya dukung tanah.
6) Menjelang groundsill jebol pada 25 Juni 2007, kombinasi degradasi dasar sungai, gerusan lokal, dan piping menyebabkan dasar sungai di hilir groundsill turun hingga sebagian turap menggantung dan tidak mampu menahan aliran air.
7) Groundsill yang jebol di sebagian bentang menyebabkan terjadinya konsentrasi aliran air di tempat groundsill jebol. Aliran ini memiliki kecepatan yang besar dan, pada saat yang sama, terjadi gradien dasar sungai yang besar antara hulu dan hilir groundsill. Aliran ini memicu degradasi dasar sungai di hulu groundsill sampai terbentuk kemiringan dasar sungai menurut keseimbangan baru antara aliran dan dasar sungai hulu-hilir groundsill.
8) Dari pengukuran dasar sungai di groundsill yang dilakukan pada 30 Juni 2007, degradasi dasar sungai mencapai 3.8 meter. Dari foto pada 12 September 2007, degradasi dasar sungai di Jembatan Kretek mencapai lebih kurang 3 meter.
Aktivitas penambangan pasir sungai di hilir Groundsill Kretek (foto diambil pada 12 September 2007)
Rehabilitasi Groundsill Kretek
Rehabilitasi Groundsill Kretek telah dilakukan pada 2007 dan selesai pada 2008. Rehabilitasi dilakukan dengan cara menutup kembali bagian bentang groundsill yang jebol serta menambahkan lantai hilir sebagai peredam energi aliran.
1) Bagian groundsill yang jebol ditutup dengan turap baja panjang 12 meter. Panjang bentang turap baja adalah sedemikian hingga ada bagian yang saling-tumpuk (overlapped) dengan turap beton yang masih berdiri.
2) Di bagian sungai yang dalam, lantai hilir berupa struktur beton (panjang 4.3 meter) yang disambung dengan bronjong batu kali (panjang 5 meter). Panjang bentang bagian ini adalah 73.5 meter, berada lebih kurang di tengah bentang groundsill.
3) Di bagian sungai yang dangkal, yaitu di tepi kiri dan kanan, lantai hilir berupa struktur bronjong batu kali saja (panjang 5 meter).
4) Ruang di antara turap hulu dan hilir diisi dengan lapis timbunan tanah, beton 0.3 m, batu kosong 2 m, dan beton 0.3 m.
Tampang melintang Groundsill Kretek di bagian bentang yang jebol pada 25 Juni 2007 (gambar ilustrasi, gambar tidak skalatis dan tidak tepat seperti keadaan sesungguhnya)
Rehabilitasi Groundsill Kretek: penutupan bagian yang jebol dengan turap baja panjang 12 m (foto diambil pada 18 Oktober 2007)
Rehabilitasi Groundsill Kretek: pengisian tubuh groundsill di antara turap hulu dan hilir dengan susunan lapis isi: timbunan tanah, beton 0.30 m, batu kosong 2 m, dan beton 0.30 m (foto diambil pada 18 Oktober 2007)
Rehabilitasi Groundsill Kretek: pembangunan lantai hilir sebagai peredam energi aliran, terdiri dari lantai beton 4.3 m dan bronjong batu kali 5 m (foto diambil pada 8 dan 16 Juli 2008)
Aliran melalui Groundsill Kretek setelah rehabilitasi groundsill pasca jebol 25 Juni 2007 (foto diambil pada 22 Januari 2010)
Artikel yang Berkaitan
Mekanisme gerusan lokal dan persamaan empiris untuk menghitung kedalaman gerusan lokal. Klik di sini.
Model matematik hidraulika (model hidrodinamika) pada tiga dekade terakhir ini telah memainkan peran penting dalam berbagai disiplin ilmu mekanika fluida, baik dalam penelitian, enjinering, maupun industri. Tidak ketinggalan, dalam bidang hidraulika, model matematik hidraulik (untuk selanjutnya disebut model matematik) pun semakin menampakkan eksistensinya yang ditunjukkan dengan semakin seringnya model matematik dipakai dalam pekerjaan enjiniring, dalam tahap studi maupun perancangan. Tingkat penerimaan dan keyakinan orang terhadap model matematik sebagai alat utama dalam pekerjaan enjiniring cukup tinggi. Hal ini dibarengi dengan tingkat penerimaan dan keyakinan yang sama yang ditujukan terhadap produk pekerjaan enjiniring dimana model matematik merupakan alat utama. Tidak jarang, bahkan, model matematik justru disyaratkan pemakaiaannya.
Ketersediaan paket program komersial model matematik saat ini cukup terjamin, baik model satu dimensi (1D) maupun dua dimensi (2D). Bahkan, model tiga dimensi (3D) pun sudah mulai banyak dijumpai, walaupun sebagian besar tidak secara spesifik dibuat untuk pemakaian di bidang hidraulika, namun lebih ditujukan untuk pemakaian di bidang dinamika fluida (lebih dikenal dengan CFD, computational fluid dynamics). Berbagai paket program komersial tersebut pun dikemas sedemikian rupa sehingga mudah dipakai (user friendly) dan hasilnya mudah dibaca (walaupun belum tentu mudah dicerna) karena umumnya dikemas dengan tampilan grafik aneka warna. Baca artikel lengkap…